News
Loading...

LAS! Generasi Bona Fortuna Yang Telah Pulang


Adalah mereka yang telah kembali pulang, menemui ibu nya yang sedang terbaring sakit. Setelah sekian lama mereka meninggalkan rumah, sesekali mereka hanya mendengar kabar tentang ibu nya yang didera derita. Tapi, hanya sesaat saja mereka ingat akan beliau. Mereka memikirkan nasib ibu nya hanya saat mereka memikirkan, hanya saat itu saja.

Sekarang, mereka telah pulang. Berjanji untuk tak akan meninggalkan rumah mereka lagi, rumah masa kecil, yang membesarkan mereka. Berjanji untuk menjaganya, berusaha mengobati derita sang ibu, dengan berbagai cara dan usaha. Menjaga ibu pertiwi darimana mereka berasal; Bona Fortuna.

Baiklah, yang saya maksud adalah sekumpulan pemuda yang bermukim di barat pulau Kalimantan, tepatnya kota Pontianak dan berkarya dalam musik, lalu memberi nama mereka dengan LAS! singkatan dari Lost At Sea, karya mereka diberi nama: Bona Fortuna. Kata Bona Fortuna, diambil dari bahasa lain pulau Kalimantan, yang kita pernah dengar pula dan baca dengan Borneo.

Sekilas bagi saya, LAS! terdengar biasa saja, seperti grup musik kebanyakan. Hingga tiba suatu waktu, rasa penasaran saya muncul, ketika secara tak sengaja mendengar salah satu lagu mereka "Borneo Is Calling", hanya sebentar mendengarnya, saya lupa kapan tepatnya.

Tapi judul lagunya membuat penasaran. Saya ulik tentang mereka di You Tube. Walaupun mereka versi yang ditayangkan oleh mereka di You Tube tidak menarik (setidaknya bagi saya). Tapi, tunggu dulu, rapat-rapat saya dengarkan liriknya, "Anjing! ini keren!". Keren dalam makna yang memberi guna.

Liriknya berusaha jujur, terhadap apa yang mereka lihat, rasakan, dan perjuangkan, terhadap nagari tempat mereka berpijak. Nagari yang menjadi ibu pertiwi mereka, yang saat ini sedang sekarat. Bukan itu saja, mereka juga bercerita tentang bagaimana "tidak baik-baik saja nya" negeri yang melindungi mereka secara kewarga negaraaan; Indonesia.

Mereka menangkap fenomena ke-tidak baikan- negeri, dituangkan dalam lirik lagu seolah cara protes mereka terhadap negeri. Cara mereka untuk memperjuangkan nasib nagari mereka dan negeri Indonesia.

Tidak hanya tentang itu saja, dengan bijak nya mereka menjadikan danau Sentarum, danau unik yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat sebagai inspirasi. Danau Sentarum sangat indah, sekaligus unik. Dalam setahun, saat musim kemarau danau Sentarum air nya akan surut, danau Sentarum akan berubah menjadi padang rumput yang diselingi oleh pohon-pohon rindang, danau nya hilang sesaat, dan akan kembali berubah menjadi danau kembali di saat musim hujan.

Bagi LAS!, hal ini dituangkan dalam lagu "Sentarum", diisyaratkan bahwa kehidupan itu harus seimbang, selayaknya danau Sentarum yang setahun sekali mengering menciptakan saujana kekeringan. Namun, baik di musim hujan ataupun kemarau, danau Sentarum selalu menebar keindahnnya.

Yang membuat saya semakin tertarik adalah, bagaimana mereka cara mereka menggunakan alat musik tradisional Sapek khas Kalimantan ke dalam lagu "Borneo Is Calling", berbaur dengan alat musik lainnya. Padu sekali. Selain tambahan nilai lainnya, seperti kolaborasi mereka di lagu "Borneo Legenda" dengan beberapa musisi; Momo (Mantan Gitaris dan Vokal Captain Jack - band Rock asal Jogja), Ifan "Seventeen", dan teman-teman musisi lainnya.

Kemudian lagu "Seperti Peduli" pula ditulis oleh Momo, berdasarkan kesadaran kolektif mereka dalam menangkap fenomena sosial di Indonesia. Mulai dari gerakan "Tolak Reklamasi" di Bali, "Jogja Ora Didol" di Jogja, hingga kegalauan anak zaman sekarang yang menurut mereka semakin ignoran.

Coba simak penggalan lirik "Seperti Peduli" ini: "Seperti laut Bali terancam di reklamasi. Seperti Jakarta yang menenggelamkan diri. Seperti kultur Jogja yang dijual pemimpin nya sendiri. Seperti tanah Papua yang terus digagahi. Seperti hutan Borneo yang dipaksa mati. Sepertinya semua terlihat jelas, tapi kita buta". Lalu dijawab dengan tegas pada bagian reffrain dengan bahasa yang sedikit menuding, "Sepertinya kita jauh lebih peduli tentang bagaiman cara berselfie, dan kita lebih sibuk membangun pendapat orang agar kita terlihat seperti peduli".

"Ini rumah kami, hutan hujan luas. Panas terik, air melimpah. Harmoni mesra, alam raya. Ini rumah kami, bukan kayu bakar kalian. Bukan ladang uang kalian. Sudah saatnya kami sadar; Kalian harus keluar, karena kami akan kembali pulang".

Sekilas, bait lirik dari "Borneo Is Calling" di atas terasa eksplisit, terasa rasis. Namun, saat dipahami lebih lanjut, membaca dan mendengarkan keseluruhan lagu nya. Seolah tersadar, yang dimaksud di sini bukan tentang ras, tidak sedangkal itu. Mungkin, tentang bagaimana Borneo yang saat ini sedang dikebiri oleh penjajahan budaya, pendidikan, pola pikir, politik dan lainnya dari luar Borneo ataupun Indonesia.

Borneo yang seperti kehilangan identitas diri. Mungkin pula, tentang bagaimana negeri ini dijejali oleh para investor asing maupun lokal, yang hanya memiliki satu niat; Uang adalah segalanya. Sepertinya mereka berusaha menyadarkan kita akan hal itu, walaupun banyak yang telah sadar, namun belum menuju ke arah yang lebih baik. Mungkin.

Mereka seperti mengajak para generasi penerus untuk kembali pulang ke tanah Borneo. Seolah mengingatkan, bahwa "Ibu sedang sakit keras, pulang lah, Nak".
Share on Google Plus

About Richie Petroza

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :